Siapa sangka orang yang memiliki bisnis
besar sekalipun ia sudah memiliki cabang di berbagai kota bisa mengalami tragedi dalam berbisnis kemudian hancur
sehancur-hancurnya?
Jawabannya, ada. Bahkan mungkin banyak. Itulah sebuah tragedi dalam berbisnis yang bisa dialami siapa saja. Lalu pertanyaan berikutnya, berapa banyak yang
jatuh itu dapat bangkit kembali? Berikut contoh seseorang yang dapat bangkit
dari keterpurukannya setelah bisnis dan keluarganya mengalami kehancuran.
Saat itu ia berusia 29 tahun. Drop out dari kuliah ketika menikah di usia 21 tahun.
Ia dikaruniai seorang istri dan dua orang anak. Ia
dibantu beberapa temannya membangun sebuah perusahaan investasi di Jawa Tengah.
Usahanya bisa dibilang cukup maju. Sudah banyak
nasabah yang menyimpan dana pada perusahaannya. Pada tahun 2008 sejak 2 tahun
sebelumnya perusahaan itu didirikan adalah puncak kejayaannya dalam berbisnis.
Banyak kalangan yang segan padanya, tak terkecuali bupati dan kapolres di
kotanya tinggal.
Pada suatu ketika, ada
seorang temannya yang meminta tolong padanya agar bersedia meminjamkan dana
dalam jumlah besar. Tentu dengan iming-iming pembagian profit yang menggiurkan. Simpanan yang ada padanya saat itu sudah
menjadi benteng terakhir. Namun bila melihat peluang besar sedang ada di depan
mata, ia pun meminjamkan dana itu, setelah sebelumnya berdiskusi dengan istrinya.
Dari hari ke hari ia
menunggu kabar dari temannya itu. Hingga 1 bulan menunggu, temannya tak kunjung
memberikan kabar. Ia pun mendatangi rumah orangtuanya. Ternyata ia sudah lama
tidak pulang dan keluarga sudah rela bila ia tidak pulang. Akhirnya ia
menyadari, ia telah ditipu.
Saat bersamaan para nasabah
ingin dananya dkembalikan. Namun ia sudah tidak memiliki simpanan lagi. Para
nasabah itu akhirnya melaporkannya ke polisi atas tuduhan penipuan. Polisi pun
datang dan menyita semua asetnya: kantor perusahaan, rumah, mobil, dan semua
aset-aset berharga miliknya.
Tak berhenti sampai di situ,
istrinya yang telah setia menemaninya sejak ia merintis bisnis itu menggugatnya
cerai. Padahal ia merasa saat semua miliknya telah disita, masih ada istri dan
anak-anaknya yang selalu setia menemani. Tapi tidak, sang istri telah
menganggap suaminya telah gagal dalam membangun keluarga. Ia ingin dikembalikan
kepada kedua orangtuanya dengan turut membawa serta kedua anaknya.
Hilang semua hal-hal
berharga yang ia miliki. Lenyap, tak bersisa. Untuk bertahan hidup ia harus
kembali ke rumah orangtuanya. Namun satuan polisi mencegah, karena ia harus
menjalani masa hukuman di dalam penjara selama 6 bulan atas tuduhan penipuan.
Selama dalam penjara ia
masih belum percaya. Rasanya baru kemarin ia mengendarai mobil alphard miliknya
mengadakan sebuah pertemuan dengan para klien, dapat makan malam dengan menu
yang lezat bersama istri dan kedua anaknya, hingga dapat tidur nyenyak dalam
pelukan sang istri di sebuah kamar yang nyaman dan rumah yang megah. Kini semua
itu tidak ada lagi. Bahkan tidak akan mungkin dia rasakan lagi. Kehidupan di
penjara ia anggap seperti di neraka. Apa yang belum pernah dilihat kini dapat ia
lihat. Bahkan dia rasakan sendiri. Cambukan dan pukulan dari para petugas sudah
bukan hal yang jarang. Ia amat frustrasi. Mengapa tragedi dalam berbisnis ini dapat menimpanya. Namun ia mencoba
tabah dan membiasakan diri karena perlakuan-perlakuan seperti itu hampir
terjadi setiap hari.
6 bulan telah berlalu,
status hukuman berubah menjadi tahanan kota. Ia bisa bebas, namun semua
identitas masih harus ditahan penegak hukum, guna menghalanginya untuk
bepergian ke luar negeri. Di luar pun ia tidak bisa benar-benar bebas, karena
masih ada nasabah yang terus mencarinya. Ia pun menumpang hidup di rumah
neneknya. Karena dengan menumpang di rumah orangtuanya hanya akan membuat
mereka tambah menanggung malu.
Satu bulan, dua bulan, satu
tahun, sampai dua tahun, tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia hanya mengurung
diri di kamar. Makan, merokok, dan tidur. Ia merasa nasib sudah mengirimnya ke
jalan demikian. Namun terus-menerus hidup seperti ini pun tiada gunanya. Ia
mulai berpikir: apa yang mesti dilakukan? Bekerja. Siapa yang mau menerima
pekerjaan orang yang tidak memiliki identitas?
“Ah, banyak pekerjaan yang bisa
dilakukan tanpa harus ada KTP,” batinnya. Akhirnya ia memutuskan pergi ke
Bekasi, menerima ajakan tetangganya menjadi kuli bangunan.
Sudah dua hari mantan
pengusaha sukses itu menjadi kuli bangunan. Mengaduk semen, memikul pasir, sampai
mengangkat batu ia jalani. Namun ia merasa selama di sana ada yang terus memperhatikannya,
yang tak lain adalah pemilik rumah. Tak salah lagi ia pernah melihat entah di
suatu tempat. Apakah itu nasabah atau kompetitor bisnisnya, ia merasa orang itu
salah satu dari orang yang sedang mencarinya. Akhirnya tanpa menunggu lama ia
kembali ke kampung hari itu juga tanpa meneruskan pekerjaan.
Telah lama ia sadari bisnis
yang pernah dilakukannya adalah bisnis yang cukup berisiko. Bila suatu saat
terjadi sesuatu, sanksi hukum dan sanksi sosial telah menanti. Pun hari ini,
walau ia telah bebas, bahaya masih mengancam terkait nasabah yang dananya tidak
bisa dikembalikan. Ia berpikir mencari jalan keluar, apa yang mesti dilakukan
agar ia tetap bisa bertahan hidup? Akhirnya ia putuskan untuk mulai berbisnis
kembali, tak apa dengan modal dan margin yang tidak besar, asal tak lagi
mengundang risiko karena bias dikerjakan dari rumah.
Ia bertemu dengan teman masa
kuliahnya dulu di dunia maya. Saat itu temannya telah memiliki sebuah
penerbitan buku. Ia mengajukan kerjasama untuk menjadi reseller. Padahal ia
menyadari sosial media seperti facebook saja ia tidak punya. Semuanya akan ia
mulai dari nol. Temannya menyetujui, ia pun memiliki akses untuk menjadi
reseller dengan mendapat diskon 35%.
Langkah pertama yang ia
lakukan adalah membuat akun facebook. Setelah itu, karena buku-buku yang
diterbitkan adalah buku-buku spiritual, ia mulai menyasar komunitas dan grup
spiritual. Orang-orang yang dia rasa memiliki minat terhadap dunia spiritual ia
tambahkan sebagai teman. Dari pagi sampai malam ia memosting buku-bukunya di
beranda. Responsnya cukup hangat, banyak di antara mereka yang berminat. Dari
situ, ia mulai berpikir besar: membuat jaringan komunitas spiritual seluas-seluasnya
dan mengadakan buku bertema spiritual sebanyak-banyaknya.
(Baca juga: 10 Cara Tepat Berjualan di Facebook)
(Baca juga: 10 Cara Tepat Berjualan di Facebook)
Penerbit-penerbit dan toko
buku kecil ia sambangi untuk mengajukan kerja sama. Bila ia yakin buku yang
sedang dilihat akan cepat terjual, ia tidak perlu dropship dan akan langsung
membelinya. Pasar sedikit demi sedikit telah ia bangun, dan stok mulai ia
kumpulkan. Dengan bermodal komputer sederhana pentium 4 dan dibantu hanya
sebuah akun facebook dan blog, pada bulan keenam ia berjualan telah mendapat
penghasilan bersih sebanyak 21 juta per bulan. Dan sudah menikah lagi dengan
seorang janda yang dikenalnya di facebook. Penulis pernah bertanya, apakah
semua capaiannya itu adalah bakatnya di masa lalu dalam berbisnis? Dia menjawab
sederhana, “Saya kalau sudah berbisnis gak setengah-setengah, Mas. Saya akan
fokus tok berbisnis. Tidak menjadikan
ini sampingan, belakangan, atau apapun namanya. Sepenuhnya saya fokus
berbisnis, itu saja.”
Penulis masih penasaran, ia
terus bertanya. Bagaimana bisa orang yang jatuh sehancur-hancurnya dapat
bangkit kembali? Ia menjawab: “Merasa biasa saja lah saat kaya. Kelak ketika
engkau jatuh, kau pun akan merasa biasa saja.”
Demikian kisah tragedi dalam berbisnis yang benar-benar nyata kisahnya. Semoga dari artikel tragedi dalam berbisnis ini mampu memotivasi Anda untuk bangkit dari kegagalan.
Demikian kisah tragedi dalam berbisnis yang benar-benar nyata kisahnya. Semoga dari artikel tragedi dalam berbisnis ini mampu memotivasi Anda untuk bangkit dari kegagalan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus